Thursday, October 06, 2016

Love Letters -- Katie Fforde

 
Love Letters by Katie Fforde

My rating: 3 of 5 stars.

Buku tentang festival literasi, toko buku, penulis, kutu buku... siapa yang bisa menolak? Saya sih nggak. Kamu? ;)

Yup, Love Letters ini sarat berisi tentang hal-hal tersebut di atas. Laura, seorang kutu buku, sangat-sangat-SANGAT suka baca. Maka dia pun memutuskan untuk bekerja di toko buku. Semua buku yang ada di toko tempat dia bekerja sudah habis dilahapnya. Setiap ada kiriman buku baru, pasti dia akan membacanya dan membaginya dengan klub buku yang dibuatnya.

Namun novel ini tidak menceritakan tentang klub buku Laura, melainkan kehidupan Laura pribadi setelah bossnya Henry, mengumumkan akan menutup toko buku itu selamanya. Laura tentu saja patah hati, tetapi untunglah ada Grant, pegawai di toko yang sama, yang selalu mengajaknya keluar malam. Ke club, ke pub, pokoknya menikmati kehidupan. Berbanding terbalik dengan keseharian Laura yang kutu buku. Laura pun ingin berubah dan gayung pun bersambut. Mereka berdua menjelajah dari pub ke pub.

Saat Laura mengadakan temu penulis di tokonya, editor penulis tersebut mengajaknya ngobrol, dan terpukau dengan pengetahuan Laura yang luas tentang buku. Jelaslah! Kutu buku sejati lho dia. Laura bisa menemukan plot yang kurang, cara penulisan yang nggak bagus, atau apapun dari sebuah buku. Eleanora (editor tersebut) mengajaknya bergabung dalam kepanitiaan festival literasi, yang menggabungkan buku dan musik dalam satu event besar.

Laura yang pada dasarnya adalah perempuan pemalu, awalnya menolak. Tetapi setelah dipikir-pikir, datang ke rapat panitia festival literasi lucu juga nih! Toh setelah berhenti bekerja pada Henry, dia akan jadi pengangguran juga, kan? Apa salahnya menjalin networking dari sekarang? After all, itu juga yang sedang dilakukannya bersama Grant, kan? Membuka diri, mengenal lebih banyak orang. Maka datanglah Laura ke rapat tersebut. Dan dari sana lah hidupnya berubah. Drastis!

Dimulai dari pembicaraan ringan mengenai penulis, berbuntut ke pembahasan mengenai karya seorang penulis legendaris yang menulis sejak usia 20 tahun dan hanya menerbitkan dua novel. Laura yang niat awalnya mau diam saja, tidak tahan untuk berkomentar, dan disitulah letak kesalahannya. Laura jadi dianggap mengenal Dermot Flynn, sang penulis legendaris, dan satu-satunya sponsor acara tersebut menuntut agar Laura mendatangkan penulis itu dari Ireland khusus buat festival literasi tersebut. Kalau gagal, mereka dipersilahkan mencari sponsor lain. Dan milyuner itu pun pergi.

Beban berat itu tersampir di pundak Laura saat semua anggota panitia juga menaruh harapan besar padanya untuk bisa membawa Dermot ke London. Dan diutuslah Laura ke Ireland untuk membujuk Dermot. Sampai di sana, ternyata Dermot itu semacam kesayangan seluruh kota tempatnya tinggal. Tidak ada yang tidak tahu siapa Dermot, bahkan makanan kesukaannya tersedia di rak khusus di swalayan terdekat. Ditambah berita bahwa Dermot tidak mau keluar selangkah pun dari kotanya, Laura jadi ciut.

Di saat bersamaan, di kota tersebut sedang diadakan acara literasi yang membuat kota kecil itu ramai, karena semua orang datang untuk melihat Dermot membacakan cuplikan bukunya. Karena Dermot tidak mau keluar dari tempatnya, maka orang datang berduyun-duyun ke kotanya. Lalu, bisa apa dong Laura? Mustahil banget kan bisa ngajak dia untuk jadi bintang tamu di acara festival literasinya? Makin ciutlah Laura.

Pic credit: https://www.instagram.com/sylnamira/
Gadis itu pun memberanikan diri menghampiri Dermot, setelah sebelumnya minum alkohol hijngga mabuk. Karena mabuk bisa memberinya keberanian. Dan memang Laura jadi berani, tapi justru itu membawa masalah baginya. Apakah Laura akan berhasil membawa Dermot keluar dari kota kecilnya di Ireland untuk ikut menjadi bintang tamu di acaranya?

Novel ini banyak membahas tentang dunia literatur. Mulai dari toko buku, kutu buku, klub buku, festival literasi, hingga writer's block (momok paling menakutkan bagi seorang penulis). Dan ternyata ada yang mengalami writer's block hingga bertahun-tahun ya? Kita sama dong bang Dermot. Cuma bedanya abang bisa nulis lagi, kalo saya mah kayaknya masih ke-block. (Atau memang malas nulis aja?) 😄

Meski kisah Laura dan Dermot sangat seru untuk diikuti, novel ini buat saya terlalu bertele-tele. Terutama saat Laura galau dengan perasaannya. Kenapa juga dia nggak ngomong sama Dermot mengenai hal yang mengganggu pikirannya? Memang sih, Dermot ini kan semacam 'dewa' bagi semua orang (dalam novel ini) karena saking fenomenalnya dua novel karyanya tersebut. Bahkan Laura menjadikan novel Dermot sebagai bahan penulisan karya ilmiahnya. Jadi wajar aja kali ya kalau Laura gak pede kalau Dermot memiliki perasaan lain terhadapnya?

Dan yang bikin gemes itu adalah, sikap Dermot yang terlalu cuek. Tapi bisa dimengerti juga sih, namanya juga penulis yes? Kadang kalau sudah ada ide, nulisnya bisa gak berenti-berenti. Ya seperti saya dulu deh. DULU...! 😜 

Tapi saya suka endingnya. Hehehe. Dan saya suka jawaban-jawaban Laura saat ngobrol sama Dermot, juga humornya. Tau sendiri kan, humor orang Inggris tuh beda. Sarkasmenya berkelas (ada ya, sarkasme berkelas?) 

Secara keseluruhan, saya suka novel ini dan gak nyesel sudah beli dan baca. Biasanya saya soalnya punya kebisasaan jelek. Kalau nggak suka sama satu buku, saya sulit melanjutkan. Makanya di Goodreads saya punya rak 'Gak kelar'. Itu isinya buku-buku yang sudah saya (coba) baca, tapi gak mampu saya selesaikan karena kehilangan minat.

So, penggemar literasi dan pecinta buku, baca deh novel ini. Meski sampai sekarang saya gak tahu apa hubungan isi cerita dengan judulnya yang bagi saya sama sekali nggak nyambung, tapi worth to read lah... 😉

No comments: